1.
Pendahuluan
1.1 Latar
belakang
Islam merupakan sebuah sistem universal yang
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam Islam, segala hal yang
menyangkut kebutuhan manusia, dipenuhi secara lengkap. Semuanya diarahkan agar
manusia mampu menjalani kehidupan yang lebih baik sesuai dengan kodrat
kemanusiaannya Jika hal itu dilakukan, maka akan selamat dalam kehidupan dunia
dan akhirat. Sebagai sebuah sistem, Islam memiliki sumber ajaran yang lengkap,
yakni Al Quran dan Hadits.
Rasulullah
menjamin, jika seluruh manusia memegang teguh Al Quran dan Hadits dalam
kehidupannya, maka ia tidak akan pernah tersesat selamalamanya. AlQuran,
dipandang sebagai sumber ajaran dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama,
sedangkan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al Quran. Nilai kebenaran
Al Quran bersifat mutlaq karena Al Quran merupakan wahyu Allah yang
sangat agung, mengandung mu’jizat, dan tidak akan ada seorang pun yang
mampu membuat tandingannya. Hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al Quran
merupakan sabda, perilaku, dan ketetapan Rasulullah yang tidak mungkin
keliru.Sebab Rasulullah adalah manusia pilihan Allah dan Rasul Allah yang
dipelihara dari kekeliruan.Beliau dibimbing oleh kekuatan wahyu Allah dalam
menjalani kehidupannya. Persoalan kebenaran hadits terletak dari periwayatannya,
ada yang lemah dan ada yang kuat dan
bisa dijadikan sebagai alasan atau argumentasi. Ketika Al Quran dan Hadits
difahami dan dijadikan sebagai obyek kajian, maka muncullah penafsiran,
pemahaman, dan pemikiran.Demikian juga lahirlah berbagai jenis ilmu Islam yang
kemudian disebut Dirasah Islamiyyah atau Islamic Studies.Jika Al Quran
dan Hadits, difahami dalam bentuk pengetahuan Islam, maka kebenarannya tidak
lagi mutlak. Hal ini karena pemahaman, pemikiran dan penafsiran merupakan hasil
upaya manusia dalam mendekati kebenaran yang dinyatakan dalam wahyu Allah (Al Quran)
dan sunnah Rasulullah SAW.[1]
Sesuatu
yang dihasilkan manusia maka hasilnya relatif bisa benar, tapi juga bisa salah.
Bisa benar untuk waktu tertentu, tapi tidak untuk waktu yang lain. dan Rasul Allah yang dipelihara dari
kekeliruan. Beliau dibimbing oleh kekuatan wahyu Allah dalam menjalani
kehidupannya.
Studi Islam adalah pengkajian
ilmu-ilmu keislaman, yakni pengkajian yang bukan sekedar menyentuh aspek-aspek
normatif dan dogmatif, tetapi juga menyangkut aspek sosiologis.[2]
Dalam memahami agama, atau
tepatnya dalam studi Islam, yang meliputi pendekatan sosiologis, pendekatan antropologis,
pendekatan teologis normatif, dan sebagainya. Hal
ini dianggap penting sebagai landasan dalam memahami aspek ajaran agama.
1.2 Tujuan
1. Untuk
mengetahui pendekatan teologis normatif.
2. Untuk
mengetahui pendekatan antropologis dan sosiologis.
2.
Pembahasan
2.1 Pendekatan
teologis normatif
Teologis memiliki arti hal-hal yang berkaitan dengan
aspek ketuhanan. Sedangkan normatif secara sederhana diartikan dengan hal-hal
yang mengikuti aturan atau norma tertentu. Dalam kaitannya dengan ajaran Islam,
normatif memiliki arti ajaran agama yang belum dicampuri oleh pemahaman dan
penafsiran manusia.Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara
harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan
kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik
dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan
yang lainnya.
Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang
memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan
kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi Islam dariapa yang tertera
dalam teks Al Quran dan Hadits. Pendekatan normatif dapat juga dikatakan
pendekatan yang bersifat domain keimanan tanpa melakukan kritik kesejarahan
atas nalar lokal dan nalar zaman yang berkembang, serta tidak memperhatikan
konteks kesejarahan Al Quran.Dalam pandangan Abudin Nata, hal yang demikian
disebutnya sebagai pendekatan teologis normatif.Pendekatan ini mengasumsikan
seluruh ajaran Islam baik yang terdapat dalam Al Quran, Hadits, maupun ijtihad
sebagai suatu kebenaran yang harus diterima saja dan tidak boleh diganggu gugat
lagi.Penafsiran terhadap teks-teks keagamaan telah dijadikan sebagai teologi
yang disejajarkan dengan Al Quran yang tidak boleh dikritisi, cukup diterima
saja sebagai hal yang benar.
Teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak
pasti mengacu kepada agama tertentu.Loyalitas terhadap kelompok sendiri,
komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat
subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan
ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.Karena sifat dasarnya yang partikularistik,
maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen-Katolik, teologi
Kristen-Protestan dan begitu seterusnya.Dan jika diteliti lebih mendalam lagi,
dalam intern umat beragama tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai paham
atau sekte keagamaan.Menurut informasi yang diberikan The Encyclopedia of
American Religion, bahwa di Amerika Serikat saja terdapat l200 sekte
keagamaan. Satu di antaranya adalah sekte Davidian yang pada bulan April
1993 waktu itu pemimpin sekte Davidian bersama 80 orang pengikut
fanatiknya melakukan aksi bunuh diri massal setelah bcrselisih dengan kekuasaan
pemerintah Amerika Serikat.[3]
Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah
pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan, yang
masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim
dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan pemahaman yang lainnya dianggap
sebagai salah. Aliran teologi yang satu, begitu yakin dan fanatik bahwa
pahamnyalah yang benar, sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang bahwa
paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula
paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun menyebut paham atau pendapat
dirinyalah yang benar dan menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat, kafir,
bahkan paham itu berakhir dengan kesimpulan harus dimusnahkan.
Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses
saling mengkafirkan, salah menyalahkan antara satu dengan yang lainnya, dan
seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dengan aliran lainnya tidak
terbuka dialog atau sikap saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan
atau dikenal dengan sikap eklusifisme, yakni anggapan hanya dirinyalah yang
benar sedang pendapat yang lain salah.Sehingga hal ini mengakibatkan sering
terjadi pemisahan dan terkotak-kotaknya umat. Oleh pengamat agama,
kecenderungan ini dianggap tidak atau kurang kondusif untuk melihat rumah
tangga penganut agama lain secara bersahabat, sejuk, dan ramah
Pendekatan teologi dalam memahami agama cenderung
bersikap tertutup, tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan, saling
mengkafirkan, yang pada akhirnya terjadi pengkotak-kotakan umat, tidak ada
kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Dengan pendekatan
demikian, maka agama cenderung hanya merupakan keyakinan dan pembentuk sikap
keras dan dampak sosial yang kurang baik.Melalui pendekatan teologi ini agama
menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial dan cenderung menjadi lambang
identitas yang tidak memiliki makna. Pemahaman seperti dikemukakan di atas,
bukan berarti dalam studi Islam tidak memerlukan pendekatan teologi dalam
memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologis, keagamaan seseorang
akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Proses
pelembagaan perilaku keagamaan melalui madzhab-madzhab sebagaimana halnya yang
terdapat dalam teologi jelas diperlukan, antara lain berfungsi untuk
melanggengkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter
pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.
Jika dianalisa, tradisi studi keagamaan yang banyak
kita saksikan selama ini yang lebih dominan adalah orang cenderung membatasi
pada pendalaman terhadap agama yang dipeluknya tanpa melakukan pengamatan
terhadap agama orang lain. Mungkin saja hal ini disebabkan oleh terbatasnya
waktu dan fasilitas yang diperlukan. Sebab lain, bisa jadi karena studi agama
di luar yang dipeluknya dinilai kurang bermanfaat, atau bahkan bisa merusak
keyakinan yang telah dibangun dan dipeluknya bertahun-tahun yang diwarisi dari
orang tua.
Dalam studi Islam tampaknya tidak bisa mengingkari
adanya kemungkinan bahwa dalam perkembangannya sebuah agama mengalami
penyimpangan dalam hal doktrin dan prakteknya. Tetapi arogansi teologis yang
memandang agama lain sebagai sesat sehingga harus dilakukan pertobatan dan jika
tidak berarti pasti masuk neraka, merupakan sikap menjauhkan dari nilai
keberagamaan yang kasih dan santun dalam mengajak kepada jalan kebenaran.
Arogansi teologis ini terjadi tidak saja dihadapkan pada pemeluk agama lain
tetapi juga terjadi secara internal dalam suatu komunitas seagama. Sebenarnya,
baik dalam Yahudi, Kristen maupun Islam, sejarah membuktikan pada kita bagaimana
kerasnya bentrokan yang terjadi antara satu aliran teologi dengan aliran lain.
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan
cara berpikir deduktif. Cara berfikir deduktif, yaitu cara berpikir yang
berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran
yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan
lebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat
dengan dalil-dalil dan argumentasi yang mendukung.
Selanjutnya, pendekatan teologis ini erat kaitannya
dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari
segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat
penalaran pemikiran manusia.Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai
suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak
bersikap ideal.
Menurut Hadidjah dan Karman al-Kuninganiy pendekatan
normatif mempunyai cakupan sangat luas.Pada umumnya pendekatan yang digunakan
oleh ahli ushul fikih (ushuliyyin), ahli hukum Islam (fuqaha) dan ahli
tafsir (mufassirin) dan ahli hadits (muhaditsin) yang berusaha
menggali aspek legal-formal ajran Islam dari sumbernya selalu menggunakn
pendekatan normatif.Selanjutnya dikatakan bahwa, dalam pendekatan normatif
terdapat dua teori yang dapat digunakan.Yaitu pertama, Terdapat hal-hal
yang dalam mengetahui kebenarannya dapat dibuktikan secara empirik dan
eksperimental.Kedua, terdapat hal-hal yang dalam mengetahui kebenarannya
tidak dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental.Untuk halhal yang dapat
dibuktikan secara empirik biasanya dalam hal yang berhubungan dengan penalaran
(ra’yu), sedangkan untuk hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara
empirik (ghaib) biasanya diusahakan pembenarannya, pengakuan
kebenarannya dengan mendahulukan kepercayaan. Namun demikian agak sulit untuk
menentukan hal-hal apa saja yang masuk kategori empirik dan mana yang tidak
empirik. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya
yang khas.Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung
nilainilai luhur.Untuk bidang sosial agama tampil menawarkan nilai-nilai
kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, persamaan
derajat dan sebagainya.Untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan,
kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan.Untuk bidang ilmu pengetahuan,
agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi
yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya.
Demikian pula untuk bidang bidang lain, seperti pendidikan, kesehatan,
lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal
dan dibangun berdasarkan dalil-dalil tekstual yang terdapat dalam ajaran agama.[4]
2.2 Pendekatan
antropologis dan sosiologis
a. Pendekatan
antropologis
Antropologi
adalah ilmu tentang manusia dan kebudayaan.Ada dua macam Antropologi, yakni
Antropologi Fisik dan Antropologi Budaya.Antropologi budaya ialah antropologi
yang mempelajari kebudayaan atau Antropologi yang ruang lingkupnya adalah
kebudayaan.Kebudayaan manusia pada dasarnya adalah serangkaian aturan-aturan,
kategorisasi-kategorisasi, serta nilai-nilai.Kebudayaan bukan hanya ilmu
pengetahuan saja, tetapi juga hal-hal yang ghaib, hal-hal yang buruk, bahasa,
dan lain-lain. Kebudayaan meliputi unsur-unsur: (1) Sistem sosial (organisasi
sosial, pendidikan); (2) Sistem bahasa dan komunikasi; (3) Sistem agama; (4)
Sistem ekonomi dan teknologi; dan (5) Sistem politik dan hukum.
Kebudayaan dalam nilai-nilai keagamaan tersebut
terwujud dalam kehidupan masyarakat. Kajian Geertz (1963) mengenai agama
abangan, santri , dan priyayi adlah kajian mengenai variasi-variasi
keyakinan-keyakinan agama dalam kehidupan masyarakat jawa sesui dengan konteks
lingkungan hidup dan kebudayaan masing-masing, bukan nya kajian mengenai
teologi agama begitu juga kajian Suparlan mengenai orang Jawa di Suriname
(1955) merupakan variasi keyakinan agama yang bersifat tradisional
(bersembahyang menghadap ke arah barat ) dan modern (bersembahyang menghadap ke
timur).[5]
Dalam konteksnya sebagai metodologi, antropologi
merupakan ilmu tentang masyarakat dengan bertitik tolak dari unsur-unsur
tradisional, mengenai aneka warna, bahasa-bahasa dan sejarah perkembangannya
serta persebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan manusia dalam masyarakat.
Memahami Islam secara antropologis memiliki makna memahami Islam dengan
mengungkap tentang asalusul manusia yang berbeda dengan pandangan Teori Evolusi
(The Origin of Species)nya Charles Darwin.
b. Pendekatan
sosiologis
Agama disamping sebagai sebuah keyakinan (beleif),
juga merupakan gejala sosial.artinya, agama-agama yang dianut melahirkan
berbagai perilakau sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam
sebuah kehidupan bersama. Kadang–kadang perilaku tersebut saling mempengaruhi
satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh
terhadap perilaku sosial.Untuk menggambarkan gejala sosial keagamaan dengan
baik, peneliti dapat menggunakan pendekatan sosiologis.yang dimaksut dengan
pendekatan sosiologis adalah peneliti menggunakan logika-logika dan teori
sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk menggambarkan fenomena sosial
keagamaan serta pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain.[6]
Studi islam dengan pendekatan sosiologi dapat
mengambil beberapa tema. pertama, studi tentang pengaruh agama terhadap
masyarakat atau lebih tepatnya pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat.
Teori ini mengingatkan kepada Durkheim yang memperkenalkan konsep fungsi social
dari agama .dalam bentuk ini studi islam mencoba memahami seberapa jauh
pola-pola budaya masyarakat berpangkal dari nilai-nilai agama, atau seberapa
jauh struktur masyarakat (seperti supremasi laki-laki) berpangkal dari ajaran
agama atau seberapa jauh perilaku masyarakat berpangkal pada suatu ajaran
agama. Seperti bagaimana pengaruh ajaran islam tentang muhrim yang dipraktikkan
oleh masyarakat arab Saudi, ajaran waris islam yang mendorong kaum laki-laki
berkuasa diatas kaum perempuan, atau bagaimana pengaruh alarangan riba dalam
ajaran islam terhadap perilaku perbankan dalam perbankan konvensional. Kedua,
studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman
ajaran agama atau konsep keagamaan. Pada masa klasik dapat dilihat bagaimana
pertentangan politik ahli sunnah wal al-jama’ah dengan kaum khawarij dan shi’ah
telah melahirkan konsep-konsep teologi islam yang berbeda-beda mengenai konsep
imamah, dosa besar dan sebagainya. Dalam bidang hokum bagaimana tingkat
urbanisme kufah telah melahirkan pendapat-pendapat hokum islam hanafi yang
rasional, perbedaan geografis basrah telah melahirkan qawl qadim dan qawl jaded
shafi’I. Ketiga.Studi tentang tingkat pengalaman beragama masyarakat. Studi
islam dengan pendekatan sosiologi dapat mengefaluasi pola penyebaran agama dan
seberapa jauh agama itu diamalkan oleh masyarakat. Sberapa jauh mereka misalnya
melakukan ritual sesuai ajaran agama, ajaran zakat, haji, dsb.Informasi ini
diperlukan terutama oleh dan pengembang masyarakat.Studi evaluasi ini juga
dapat digunakan untuk eksperimentasi dan mengukur efektifitas suatu program.
Misalnya paket UU perkawinan nomor 1 tahun
1974, UU tentang kompetensi peradilan agama nomor 7 tahun 1989 telah
berhasil mengurangi angka prceraian.
Keempat, studi pola social masyarakat muslim. Yakni pola-pola perilaku
masyarakat muslim kota dan desa, pola hubungan antar agama dalam masyarakat,
pola perilaku masyarakat muslim terdidik dan kurang terdidik, demikianlah
seterusnya sepanjang studi perilaku itu menyangkut orang-orang islam sudah
dapat dikatagorikan studi islam. Kelima, studi tentang gerakan masyarakat yang
membawa paham yang dapat melemahkan atau menunjang kehidupan beragama.
Gerakan-gerakan kelompok islam yang mendukung paham kolonialisme, kapitalisme,
sekulerisme, komunisme, dan ateisme. Demikian pula munculnya kelompok islam
yang mendukung spiritualisme yang pada tingkat tertentu dapat menunjang
kehidupan beragama.[7]
Dalam sosiologi terdapat berbagai logika teoritis
(pendekatan) yang dikembangkan untuk memahami berbagai fenomena sosial
keagamaan. Diantra pendekatan itu yang sering digunakan ialah:
1) Fungsionalisme
Dikembangkan
dari teori-teori klasik, seperti Emile Durkheim, Max Webwr, Talcout Parson, dan
Robert K. Merton. Salah satu pemikiran Durkheim yang penting ialah: fakta
sosial atau realitas sosial akan membentuk perilaku individu. Karena itu,
Durkheim sering disebut strukturalis. berbagai struktur masyarakat diapahami
sebagai realitas dan fakta sosial, dan hal ini akan membentuk perilaku
individu.
Pemikiran
Max Weber sering diungkapkan dalam berbagaibuku sosiologi agama.logika yang
dikembangkannya ialah: sejauh mana nilai-nilai agama sebagai sebuah pranata
sosial berpengaruh terhadap perilaku ekonomi.
Talcout
Parson merupakan salah satu tokoh fungsional yang lebih menekankan pada
keserasian, keteraturan, dan keseimbangan dalam sebuah sistem sosial. Dalam
sebuah sistem sosial menurut Parson, terdapat nilai-nilai dan norma yang
menjadi patokan dan rujukan tingkah laku bagi setiap anggota komunitas.
Nilai-nilai disepakati bersama. Dengan adanya nilai-nilai yang menjadi patokan
bersama, maka dalam masyarakat akan terjadi keteraturan. Nilai tersebut harus
senantiasa dipertahankan agar masyarakat tetap berada di dalam keteraturan dan
keserasian.
Robert
K. Merton mengembangkan fungsionalisme yang dikemukakan oleh Person.menurut
Merton bila masyarakat merasa puas dengan
nilai-nilai yand ada maka masyarakat akan menghargainya. Ketika
masyarakat merasa tidak puas terhadap
nilai-nilai yang ada, sebuah komunitas tidak memiliki faktor yang
mengikat satu sama lain. hal ini akan mendorong tindakan disintegrasi sosial.
Karena itu Merton menekankan pentingnya nilai dan norma. Bila norma berubah
maka akan terjadi peribahan sosial.
Pendekatan
fungsional Parson dapat digunakan untuk menjelaskan oerubahan sosial. Bila
peneliti mengamati adanya berbagai oerubahan dalama masyarakat terutama
perubahan pada tingkat mikro, seperti sikap murid yang tidak terlalu ramah
terhadap guru di sebuah pondik pesantren; kecenderungan terjadi pelanggaran
nilai dan norma yang menjadi pegangan bersama, maka fungsionalisme Parson akan
menjelaskan bahwa oerubahan tersebut terjadi akibat kegagalan sosialisasi dan
interanalisasi nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan bersama dalam
komunitas esantren dan sekolah.
2) Pertukaran
Salah
satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial
keagamaan, seperti perubahan dan perilaku sosial, ialah teori pertukaran.
Menurut prespektif teori pertukaran, tiada lain adalah ialah melakukan
pertukaran yang saling menguntungkan satu sama lain. Perilaku yang ia tunjukkan
dalam sebuah komunitas akan berlangsung apabila ia merasa adanya penghargaan
(reword) dari anggota komunitas. Bila tidak mendapat penghargaan, interaksi
antar anggota komunitas tidak akan berlangsung.
Menurut
prespektif pertukaran, manusia selalu melakukan transaksi sosial yang slain
menguntungkan, baik keuntungan materi maupun non materi. Pokok-pokok pandangan
teori pertukaran, ialah:
a. Manusia
berusaha memporeh keuntungan dari transaksi social.
b. Manusia
memperhitungkan untung rugi dalam transaksi social.
c. Manusia
menyadari adanya sejumlah alternatif yang mendorong mereka memeperhitungkan
untung rugi.
d. Manusia
bersaing untuk memperoleh keuntungan.
e. Pertukaran
yang berorientasi keuntugan berlangsung dalam setiap konteks social.
f. Individu
mempertukarkan komoditas non material seperti perasaan dan jasa.
3) Interaksionisme
Simbol
Manusia
pada intinya senang dengan simbol-simbol. Bila disuatu tempat tumbuh dan
berkembang komunitas, pada saat yang sama akan tumbuh simbol-simbol yang
dipahami bersama. Simbol-simbol ditunjukkan dengan bentuk bahasa (bahasa verbal
dan bahasa isyarat), budaya, seni dll.
Pokok-pokok
pemikiran teori intraksionisme simbolis, ialah:
a. Manusia
adalah makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbolik.
b. Simbol
merupakan alat untuk berkomunikasi satu sama lain.
c. Dalam
berkomukasi manusia melakukan pengambilan peran (role taking).
d. Terbentuknya
masyarakat berdasarkan kemampuan manusia untuk berfikir, bertahan,
mendefinisikan realitas, melakukan renungan dan evaluasi
4) Konflik
Toeri konflik mengasumsikan bahwa
masyarakat terdiri dari beberapa kelompok yang memiliki kepentingan satu sama
lain mereka selalu berasing untuk mewujudkan hasrat dan kepentingan mereka.
Menurut
Levwis Coser ketika terjadi konflik antara sautu komunitas dengan komunitas
lain, hubungan antara anggota komunitas cenderung integratif, sekalipun
sebelumnya terjadi konflik.
Marxisme
mengasumsikan bahwa terjadinya antitesa sering kali bukan dilakukan secara
damai melainkan melalui kekerasan, pengahncuran, dan pembunuhan. Pemikiran
demikian, terutama dikembangkan oleh
para pengikut Marxisme, seperti Lenin dan Stalin. Pemikiran sosiologi Marxisme
berubah menjadi sebuah strategi politik untuk mencapai kekuasaan. Karena itu,
Marxisme sering kali dikritik n=bukan sebagai kunci analisis untuk melihat
perubahan sosial melainkan sebagai starategi politik untuk mencapai kekuasaan
dan kekerasan.
5) Teori
penyadaran
Teori
penyadaran dikembangkan oleh para kritisi amerika latin seperti Paul Freire,
Diaz Bordenave dan Luis Ramiro Beltran. secara praktis teori-teori penyadaran
yang dikembangkan sarjana amerika latin lebih mnekankan pada perlunya dialog,
pemberdayaan masyarakat, bersifat kritis terhadap berbagai bentuk difusi
inovasi. mereka menerima konsep difusi inovasi tetapi yang betul-betul sesuai
kebutuhan dan kondisi sosial ekonomi yang mereka hadapi, bukan difusi yang
syarat dengan kepentingan amerika serikat.
6) Teori
ketergantungan
Salah
satu teori kritis yang berkembang diamerika latin ialah teori ketergantungan.
pembahasan teori ketergantungan ialah hubungan negara-negara berkembang dengan
negara maju. negara berkembang disebut negara feri-feri, sedangkan negara maju
disebut negara center. ketergantungan politik dan ekonomi negara-negara dunia
ketiga terkait dengan faktor sejarah, yakni adanya penjajahan.
3.
Penutup
Terdapat pendekatan-pendekatan dalam memahami islam yaitu
pendekatan teologis normatif, pendekatan antropologis, dan pendekatan
sosiologis. Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang
memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan
kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi Islam dariapa yang tertera
dalam teks Al Quran dan Hadits. Pendekatan
antropologi merupakan ilmu tentang masyarakat dengan bertitik tolak dari
unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna, bahasa-bahasa dan sejarah
perkembangannya serta persebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan
manusia dalam masyarakat.
Sedangkan pendekatan sosiologis adalah peneliti menggunakan
logika-logika dan teori sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk
menggambarkan fenomena sosial keagamaan serta pengaruh suatu fenomena terhadap
fenomena lain. ketiga pendekatan
tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.
Daftar
Pustaka
Maftukhin. 2010. Nuansa Studi Islam. Yogyakarta : Teras.
Abdullah, Taufik. 2004. Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Sayuthi
Ali. 2002.Metodologi Penelitan Agama.
Jakarta : Rineka Cipta.
http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MS13.pdf, diakses pada tanggal 13 Maret 2015 pukul 09.37 WIB.
0 komentar :
Posting Komentar