Sabtu, 28 Maret 2015



1.      Pendahuluan
1.1  Latar belakang
Islam merupakan sebuah sistem universal yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam Islam, segala hal yang menyangkut kebutuhan manusia, dipenuhi secara lengkap. Semuanya diarahkan agar manusia mampu menjalani kehidupan yang lebih baik sesuai dengan kodrat kemanusiaannya Jika hal itu dilakukan, maka akan selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sebagai sebuah sistem, Islam memiliki sumber ajaran yang lengkap, yakni Al Quran dan Hadits.
Rasulullah menjamin, jika seluruh manusia memegang teguh Al Quran dan Hadits dalam kehidupannya, maka ia tidak akan pernah tersesat selamalamanya. AlQuran, dipandang sebagai sumber ajaran dan sumber hukum Islam yang pertama dan utama, sedangkan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al Quran. Nilai kebenaran Al Quran bersifat mutlaq karena Al Quran merupakan wahyu Allah yang sangat agung, mengandung mu’jizat, dan tidak akan ada seorang pun yang mampu membuat tandingannya. Hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al Quran merupakan sabda, perilaku, dan ketetapan Rasulullah yang tidak mungkin keliru.Sebab Rasulullah adalah manusia pilihan Allah dan Rasul Allah yang dipelihara dari kekeliruan.Beliau dibimbing oleh kekuatan wahyu Allah dalam menjalani kehidupannya. Persoalan kebenaran hadits terletak dari periwayatannya, ada yang lemah  dan ada yang kuat dan bisa dijadikan sebagai  alasan atau argumentasi. Ketika Al Quran dan Hadits difahami dan dijadikan sebagai obyek kajian, maka muncullah penafsiran, pemahaman, dan pemikiran.Demikian juga lahirlah berbagai jenis ilmu Islam yang kemudian disebut Dirasah Islamiyyah atau Islamic Studies.Jika Al Quran dan Hadits, difahami dalam bentuk pengetahuan Islam, maka kebenarannya tidak lagi mutlak. Hal ini karena pemahaman, pemikiran dan penafsiran merupakan hasil upaya manusia dalam mendekati kebenaran yang dinyatakan dalam wahyu Allah (Al Quran) dan sunnah Rasulullah SAW.[1]
                Sesuatu yang dihasilkan manusia maka hasilnya relatif bisa benar, tapi juga bisa salah. Bisa benar untuk waktu tertentu, tapi tidak untuk waktu yang lain. dan Rasul Allah yang dipelihara dari kekeliruan. Beliau dibimbing oleh kekuatan wahyu Allah dalam menjalani kehidupannya.
                Studi Islam adalah pengkajian ilmu-ilmu keislaman, yakni pengkajian yang bukan sekedar menyentuh aspek-aspek normatif dan dogmatif, tetapi juga menyangkut aspek sosiologis.[2]
                Dalam memahami agama, atau tepatnya dalam studi Islam, yang meliputi pendekatan sosiologis, pendekatan antropologis, pendekatan teologis normatif, dan sebagainya. Hal ini dianggap penting sebagai landasan dalam memahami aspek ajaran agama.
1.2  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pendekatan teologis normatif.
2.      Untuk mengetahui pendekatan antropologis dan sosiologis.


2.      Pembahasan
2.1  Pendekatan teologis normatif
Teologis memiliki arti hal-hal yang berkaitan dengan aspek ketuhanan. Sedangkan normatif secara sederhana diartikan dengan hal-hal yang mengikuti aturan atau norma tertentu. Dalam kaitannya dengan ajaran Islam, normatif memiliki arti ajaran agama yang belum dicampuri oleh pemahaman dan penafsiran manusia.Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi Islam dariapa yang tertera dalam teks Al Quran dan Hadits. Pendekatan normatif dapat juga dikatakan pendekatan yang bersifat domain keimanan tanpa melakukan kritik kesejarahan atas nalar lokal dan nalar zaman yang berkembang, serta tidak memperhatikan konteks kesejarahan Al Quran.Dalam pandangan Abudin Nata, hal yang demikian disebutnya sebagai pendekatan teologis normatif.Pendekatan ini mengasumsikan seluruh ajaran Islam baik yang terdapat dalam Al Quran, Hadits, maupun ijtihad sebagai suatu kebenaran yang harus diterima saja dan tidak boleh diganggu gugat lagi.Penafsiran terhadap teks-teks keagamaan telah dijadikan sebagai teologi yang disejajarkan dengan Al Quran yang tidak boleh dikritisi, cukup diterima saja sebagai hal yang benar.
Teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu.Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subyektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen-Katolik, teologi Kristen-Protestan dan begitu seterusnya.Dan jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan.Menurut informasi yang diberikan The Encyclopedia of American Religion, bahwa di Amerika Serikat saja terdapat l200 sekte keagamaan. Satu di antaranya adalah sekte Davidian yang pada bulan April 1993 waktu itu pemimpin sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan aksi bunuh diri massal setelah bcrselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika Serikat.[3]
Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan pemahaman yang lainnya dianggap sebagai salah. Aliran teologi yang satu, begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar, sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun menyebut paham atau pendapat dirinyalah yang benar dan menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat, kafir, bahkan paham itu berakhir dengan kesimpulan harus dimusnahkan.
Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan antara satu dengan yang lainnya, dan seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dengan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau sikap saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan atau dikenal dengan sikap eklusifisme, yakni anggapan hanya dirinyalah yang benar sedang pendapat yang lain salah.Sehingga hal ini mengakibatkan sering terjadi pemisahan dan terkotak-kotaknya umat. Oleh pengamat agama, kecenderungan ini dianggap tidak atau kurang kondusif untuk melihat rumah tangga penganut agama lain secara bersahabat, sejuk, dan ramah
Pendekatan teologi dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan, saling mengkafirkan, yang pada akhirnya terjadi pengkotak-kotakan umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Dengan pendekatan demikian, maka agama cenderung hanya merupakan keyakinan dan pembentuk sikap keras dan dampak sosial yang kurang baik.Melalui pendekatan teologi ini agama menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial dan cenderung menjadi lambang identitas yang tidak memiliki makna. Pemahaman seperti dikemukakan di atas, bukan berarti dalam studi Islam tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologis, keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui madzhab-madzhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi jelas diperlukan, antara lain berfungsi untuk melanggengkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama.
Jika dianalisa, tradisi studi keagamaan yang banyak kita saksikan selama ini yang lebih dominan adalah orang cenderung membatasi pada pendalaman terhadap agama yang dipeluknya tanpa melakukan pengamatan terhadap agama orang lain. Mungkin saja hal ini disebabkan oleh terbatasnya waktu dan fasilitas yang diperlukan. Sebab lain, bisa jadi karena studi agama di luar yang dipeluknya dinilai kurang bermanfaat, atau bahkan bisa merusak keyakinan yang telah dibangun dan dipeluknya bertahun-tahun yang diwarisi dari orang tua.
Dalam studi Islam tampaknya tidak bisa mengingkari adanya kemungkinan bahwa dalam perkembangannya sebuah agama mengalami penyimpangan dalam hal doktrin dan prakteknya. Tetapi arogansi teologis yang memandang agama lain sebagai sesat sehingga harus dilakukan pertobatan dan jika tidak berarti pasti masuk neraka, merupakan sikap menjauhkan dari nilai keberagamaan yang kasih dan santun dalam mengajak kepada jalan kebenaran. Arogansi teologis ini terjadi tidak saja dihadapkan pada pemeluk agama lain tetapi juga terjadi secara internal dalam suatu komunitas seagama. Sebenarnya, baik dalam Yahudi, Kristen maupun Islam, sejarah membuktikan pada kita bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara satu aliran teologi dengan aliran lain.
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif. Cara berfikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi yang mendukung.
Selanjutnya, pendekatan teologis ini erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak bersikap ideal.
Menurut Hadidjah dan Karman al-Kuninganiy pendekatan normatif mempunyai cakupan sangat luas.Pada umumnya pendekatan yang digunakan oleh ahli ushul fikih (ushuliyyin), ahli hukum Islam (fuqaha) dan ahli tafsir (mufassirin) dan ahli hadits (muhaditsin) yang berusaha menggali aspek legal-formal ajran Islam dari sumbernya selalu menggunakn pendekatan normatif.Selanjutnya dikatakan bahwa, dalam pendekatan normatif terdapat dua teori yang dapat digunakan.Yaitu pertama, Terdapat hal-hal yang dalam mengetahui kebenarannya dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental.Kedua, terdapat hal-hal yang dalam mengetahui kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental.Untuk halhal yang dapat dibuktikan secara empirik biasanya dalam hal yang berhubungan dengan penalaran (ra’yu), sedangkan untuk hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara empirik (ghaib) biasanya diusahakan pembenarannya, pengakuan kebenarannya dengan mendahulukan kepercayaan. Namun demikian agak sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang masuk kategori empirik dan mana yang tidak empirik. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas.Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilainilai luhur.Untuk bidang sosial agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.Untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan.Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang bidang lain, seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan dibangun berdasarkan dalil-dalil tekstual yang terdapat dalam ajaran agama.[4]
2.2  Pendekatan antropologis dan sosiologis
a.       Pendekatan antropologis
Antropologi adalah ilmu tentang manusia dan kebudayaan.Ada dua macam Antropologi, yakni Antropologi Fisik dan Antropologi Budaya.Antropologi budaya ialah antropologi yang mempelajari kebudayaan atau Antropologi yang ruang lingkupnya adalah kebudayaan.Kebudayaan manusia pada dasarnya adalah serangkaian aturan-aturan, kategorisasi-kategorisasi, serta nilai-nilai.Kebudayaan bukan hanya ilmu pengetahuan saja, tetapi juga hal-hal yang ghaib, hal-hal yang buruk, bahasa, dan lain-lain. Kebudayaan meliputi unsur-unsur: (1) Sistem sosial (organisasi sosial, pendidikan); (2) Sistem bahasa dan komunikasi; (3) Sistem agama; (4) Sistem ekonomi dan teknologi; dan (5) Sistem politik dan hukum.
Kebudayaan dalam nilai-nilai keagamaan tersebut terwujud dalam kehidupan masyarakat. Kajian Geertz (1963) mengenai agama abangan, santri , dan priyayi adlah kajian mengenai variasi-variasi keyakinan-keyakinan agama dalam kehidupan masyarakat jawa sesui dengan konteks lingkungan hidup dan kebudayaan masing-masing, bukan nya kajian mengenai teologi agama begitu juga kajian Suparlan mengenai orang Jawa di Suriname (1955) merupakan variasi keyakinan agama yang bersifat tradisional (bersembahyang menghadap ke arah barat ) dan modern (bersembahyang menghadap ke timur).[5]
Dalam konteksnya sebagai metodologi, antropologi merupakan ilmu tentang masyarakat dengan bertitik tolak dari unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna, bahasa-bahasa dan sejarah perkembangannya serta persebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan manusia dalam masyarakat. Memahami Islam secara antropologis memiliki makna memahami Islam dengan mengungkap tentang asalusul manusia yang berbeda dengan pandangan Teori Evolusi (The Origin of Species)nya Charles Darwin.
b.      Pendekatan sosiologis
Agama disamping sebagai sebuah keyakinan (beleif), juga merupakan gejala sosial.artinya, agama-agama yang dianut melahirkan berbagai perilakau sosial, yakni perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah kehidupan bersama. Kadang–kadang perilaku tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Norma-norma dan nilai-nilai agama diduga sangat berpengaruh terhadap perilaku sosial.Untuk menggambarkan gejala sosial keagamaan dengan baik, peneliti dapat menggunakan pendekatan sosiologis.yang dimaksut dengan pendekatan sosiologis adalah peneliti menggunakan logika-logika dan teori sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan serta pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain.[6]
Studi islam dengan pendekatan sosiologi dapat mengambil beberapa tema. pertama, studi tentang pengaruh agama terhadap masyarakat atau lebih tepatnya pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. Teori ini mengingatkan kepada Durkheim yang memperkenalkan konsep fungsi social dari agama .dalam bentuk ini studi islam mencoba memahami seberapa jauh pola-pola budaya masyarakat berpangkal dari nilai-nilai agama, atau seberapa jauh struktur masyarakat (seperti supremasi laki-laki) berpangkal dari ajaran agama atau seberapa jauh perilaku masyarakat berpangkal pada suatu ajaran agama. Seperti bagaimana pengaruh ajaran islam tentang muhrim yang dipraktikkan oleh masyarakat arab Saudi, ajaran waris islam yang mendorong kaum laki-laki berkuasa diatas kaum perempuan, atau bagaimana pengaruh alarangan riba dalam ajaran islam terhadap perilaku perbankan dalam perbankan konvensional. Kedua, studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran agama atau konsep keagamaan. Pada masa klasik dapat dilihat bagaimana pertentangan politik ahli sunnah wal al-jama’ah dengan kaum khawarij dan shi’ah telah melahirkan konsep-konsep teologi islam yang berbeda-beda mengenai konsep imamah, dosa besar dan sebagainya. Dalam bidang hokum bagaimana tingkat urbanisme kufah telah melahirkan pendapat-pendapat hokum islam hanafi yang rasional, perbedaan geografis basrah telah melahirkan qawl qadim dan qawl jaded shafi’I. Ketiga.Studi tentang tingkat pengalaman beragama masyarakat. Studi islam dengan pendekatan sosiologi dapat mengefaluasi pola penyebaran agama dan seberapa jauh agama itu diamalkan oleh masyarakat. Sberapa jauh mereka misalnya melakukan ritual sesuai ajaran agama, ajaran zakat, haji, dsb.Informasi ini diperlukan terutama oleh dan pengembang masyarakat.Studi evaluasi ini juga dapat digunakan untuk eksperimentasi dan mengukur efektifitas suatu program. Misalnya paket UU perkawinan nomor 1 tahun  1974, UU tentang kompetensi peradilan agama nomor 7 tahun 1989 telah berhasil mengurangi angka prceraian.  Keempat, studi pola social masyarakat muslim. Yakni pola-pola perilaku masyarakat muslim kota dan desa, pola hubungan antar agama dalam masyarakat, pola perilaku masyarakat muslim terdidik dan kurang terdidik, demikianlah seterusnya sepanjang studi perilaku itu menyangkut orang-orang islam sudah dapat dikatagorikan studi islam. Kelima, studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan atau menunjang kehidupan beragama. Gerakan-gerakan kelompok islam yang mendukung paham kolonialisme, kapitalisme, sekulerisme, komunisme, dan ateisme. Demikian pula munculnya kelompok islam yang mendukung spiritualisme yang pada tingkat tertentu dapat menunjang kehidupan beragama.[7]
Dalam sosiologi terdapat berbagai logika teoritis (pendekatan) yang dikembangkan untuk memahami berbagai fenomena sosial keagamaan. Diantra pendekatan itu yang sering digunakan ialah:
1)      Fungsionalisme
Dikembangkan dari teori-teori klasik, seperti Emile Durkheim, Max Webwr, Talcout Parson, dan Robert K. Merton. Salah satu pemikiran Durkheim yang penting ialah: fakta sosial atau realitas sosial akan membentuk perilaku individu. Karena itu, Durkheim sering disebut strukturalis. berbagai struktur masyarakat diapahami sebagai realitas dan fakta sosial, dan hal ini akan membentuk perilaku individu.
Pemikiran Max Weber sering diungkapkan dalam berbagaibuku sosiologi agama.logika yang dikembangkannya ialah: sejauh mana nilai-nilai agama sebagai sebuah pranata sosial berpengaruh terhadap perilaku ekonomi.
Talcout Parson merupakan salah satu tokoh fungsional yang lebih menekankan pada keserasian, keteraturan, dan keseimbangan dalam sebuah sistem sosial. Dalam sebuah sistem sosial menurut Parson, terdapat nilai-nilai dan norma yang menjadi patokan dan rujukan tingkah laku bagi setiap anggota komunitas. Nilai-nilai disepakati bersama. Dengan adanya nilai-nilai yang menjadi patokan bersama, maka dalam masyarakat akan terjadi keteraturan. Nilai tersebut harus senantiasa dipertahankan agar masyarakat tetap berada di dalam keteraturan dan keserasian.
Robert K. Merton mengembangkan fungsionalisme yang dikemukakan oleh Person.menurut Merton bila masyarakat merasa puas dengan  nilai-nilai yand ada maka masyarakat akan menghargainya. Ketika masyarakat merasa tidak puas terhadap  nilai-nilai yang ada, sebuah komunitas tidak memiliki faktor yang mengikat satu sama lain. hal ini akan mendorong tindakan disintegrasi sosial. Karena itu Merton menekankan pentingnya nilai dan norma. Bila norma berubah maka akan terjadi peribahan sosial.
Pendekatan fungsional Parson dapat digunakan untuk menjelaskan oerubahan sosial. Bila peneliti mengamati adanya berbagai oerubahan dalama masyarakat terutama perubahan pada tingkat mikro, seperti sikap murid yang tidak terlalu ramah terhadap guru di sebuah pondik pesantren; kecenderungan terjadi pelanggaran nilai dan norma yang menjadi pegangan bersama, maka fungsionalisme Parson akan menjelaskan bahwa oerubahan tersebut terjadi akibat kegagalan sosialisasi dan interanalisasi nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan bersama dalam komunitas esantren dan sekolah.
2)      Pertukaran
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial keagamaan, seperti perubahan dan perilaku sosial, ialah teori pertukaran. Menurut prespektif teori pertukaran, tiada lain adalah ialah melakukan pertukaran yang saling menguntungkan satu sama lain. Perilaku yang ia tunjukkan dalam sebuah komunitas akan berlangsung apabila ia merasa adanya penghargaan (reword) dari anggota komunitas. Bila tidak mendapat penghargaan, interaksi antar anggota komunitas tidak akan berlangsung.
Menurut prespektif pertukaran, manusia selalu melakukan transaksi sosial yang slain menguntungkan, baik keuntungan materi maupun non materi. Pokok-pokok pandangan teori pertukaran, ialah:
a.       Manusia berusaha memporeh keuntungan dari transaksi social.
b.      Manusia memperhitungkan untung rugi dalam transaksi social.
c.       Manusia menyadari adanya sejumlah alternatif yang mendorong mereka memeperhitungkan untung rugi.
d.      Manusia bersaing untuk memperoleh keuntungan.
e.       Pertukaran yang berorientasi keuntugan berlangsung dalam setiap konteks social.
f.       Individu mempertukarkan komoditas non material seperti perasaan dan jasa.
3)      Interaksionisme Simbol
Manusia pada intinya senang dengan simbol-simbol. Bila disuatu tempat tumbuh dan berkembang komunitas, pada saat yang sama akan tumbuh simbol-simbol yang dipahami bersama. Simbol-simbol ditunjukkan dengan bentuk bahasa (bahasa verbal dan bahasa isyarat), budaya, seni dll.
Pokok-pokok pemikiran teori intraksionisme simbolis, ialah:
a.       Manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbolik.
b.      Simbol merupakan alat untuk berkomunikasi satu sama lain.
c.       Dalam berkomukasi manusia melakukan pengambilan peran (role taking).
d.      Terbentuknya masyarakat berdasarkan kemampuan manusia untuk berfikir, bertahan, mendefinisikan realitas, melakukan renungan dan evaluasi
4)      Konflik
Toeri konflik mengasumsikan bahwa masyarakat terdiri dari beberapa kelompok yang memiliki kepentingan satu sama lain mereka selalu berasing untuk mewujudkan hasrat dan kepentingan mereka.
Menurut Levwis Coser ketika terjadi konflik antara sautu komunitas dengan komunitas lain, hubungan antara anggota komunitas cenderung integratif, sekalipun sebelumnya terjadi konflik.
Marxisme mengasumsikan bahwa terjadinya antitesa sering kali bukan dilakukan secara damai melainkan melalui kekerasan, pengahncuran, dan pembunuhan. Pemikiran demikian, terutama dikembangkan  oleh para pengikut Marxisme, seperti Lenin dan Stalin. Pemikiran sosiologi Marxisme berubah menjadi sebuah strategi politik untuk mencapai kekuasaan. Karena itu, Marxisme sering kali dikritik n=bukan sebagai kunci analisis untuk melihat perubahan sosial melainkan sebagai starategi politik untuk mencapai kekuasaan dan kekerasan.
5)      Teori penyadaran
Teori penyadaran dikembangkan oleh para kritisi amerika latin seperti Paul Freire, Diaz Bordenave dan Luis Ramiro Beltran. secara praktis teori-teori penyadaran yang dikembangkan sarjana amerika latin lebih mnekankan pada perlunya dialog, pemberdayaan masyarakat, bersifat kritis terhadap berbagai bentuk difusi inovasi. mereka menerima konsep difusi inovasi tetapi yang betul-betul sesuai kebutuhan dan kondisi sosial ekonomi yang mereka hadapi, bukan difusi yang syarat dengan kepentingan amerika serikat.
6)      Teori ketergantungan
Salah satu teori kritis yang berkembang diamerika latin ialah teori ketergantungan. pembahasan teori ketergantungan ialah hubungan negara-negara berkembang dengan negara maju. negara berkembang disebut negara feri-feri, sedangkan negara maju disebut negara center. ketergantungan politik dan ekonomi negara-negara dunia ketiga terkait dengan faktor sejarah, yakni adanya penjajahan.


3.      Penutup
Terdapat pendekatan-pendekatan dalam memahami islam yaitu pendekatan teologis normatif, pendekatan antropologis, dan pendekatan sosiologis. Pendekatan normatif dapat diartikan studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal formal atau dari segi normatifnya. Dengan kata lain, pendekatan normatif lebih melihat studi Islam dariapa yang tertera dalam teks Al Quran dan Hadits. Pendekatan antropologi merupakan ilmu tentang masyarakat dengan bertitik tolak dari unsur-unsur tradisional, mengenai aneka warna, bahasa-bahasa dan sejarah perkembangannya serta persebarannya, dan mengenai dasar-dasar kebudayaan manusia dalam masyarakat. Sedangkan pendekatan sosiologis adalah peneliti menggunakan logika-logika dan teori sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan serta pengaruh suatu fenomena terhadap fenomena lain. ketiga pendekatan tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain.

















Daftar Pustaka

Maftukhin. 2010. Nuansa Studi Islam. Yogyakarta : Teras.
Abdullah, Taufik. 2004. Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Sayuthi Ali. 2002.Metodologi Penelitan Agama. Jakarta : Rineka Cipta.
http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MS13.pdf, diakses pada tanggal 13 Maret 2015 pukul 09.37 WIB.




[1]http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MS13.pdf, diakses pada tanggal 13 Maret 2015
[2]Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2004), hal. 7-8
[3]http://dualmode.kemenag.go.id/file/dokumen/MS13.pdf, diakses pada tanggal 13 Maret 2015
[4]Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2004), hal. 14
[5]Sayuthi Ali, Metodologi Penelitan Agama, (Jakarta : Rineka Cipta,2002), hal. 73
[6]Maftukhin, Nuansa Studi Islam, (Yogyakarta : Teras, 2010),hal. 114
[7]Sayuthi Ali, Metodologi Penelitan Agama, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hal. 73

0 komentar :

Posting Komentar